PERLINDUNGAN
KONSUMEN
Dipersembahkan untuk Hukum Perdata Dagang
Disusun Oleh :
Anne Analia (8143136661)
Indri Nuaristiani (8143136646)
Ria Vinola Widia Wati (8143136659)
Sanur Gita Uli Samosir (8143136682)
Siti Nur Wulan (8143136660)
D3 Sekretari
2013
JURUSAN EKONOMI DAN
ADMINISTRASI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI
JAKARTA
2014
I.
Pengertian
Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa
yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian
hukum untuk member perlindungan kepada konsumen.
II.
Hak dan Kewajiban bagi Konsumen dan Pelaku Usaha
Berdasarkan pasal 4 dan 5 Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999, hak dan kewajiban konsumen antara lain:
a. Hak dan Kewajiban Konsumen
Ø Hak konsumen
1) Hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ atau jasa
2) Hak untuk
memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan barang dan atau jasa, sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
3) Hak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan
atau jasa
4) Hak untuk
didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan
5) Hak untuk
mendapatkan advokasi perlindungan konsumen dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut
6) Hak untuk
mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7) Hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin, dan status
sosialnya
8) Hak untuk
mendapat kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan/ atau
jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya
9) Hak-hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
Ø Kewajiban
konsumen
1.
Membaca,
mengikuti petunjuk informasi, dan prosedur pemakaian, atau pemanfaatan barang
dan/ atau jasa demi keamanan dan keselamatan
2.
Beritikad baik
dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa
3.
Membayar sesuai
dengan nilai tukar yang disepakati
4.
Mengikuti upaya
penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut
b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Berdasarkan
pasal 6 dan 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 hak dan kewajiban pelaku usaha,
sebagai berikut.
Ø Hak pelaku
usaha
1)
hak untuk
menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai
tukar barang dan/ atau jasa yang diperdagangkan
2)
hak untuk
mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik
3)
hak untuk
melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa
konsumen
4)
hak untuk
rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan atau jasa yang diperdagangkan
5)
hak-hak yang
diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya
Ø Kewajiban
pelaku usaha
1)
Beritikad baik
dalam melakukan kegiatan usahanya
2)
Melakukan
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan
atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan
3)
Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, pelaku
usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan, pelaku
usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen
4)
Menjamin mutu
barang dan/ atau jasa yang diproduksi atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan
standar nutu barang atau jasa yang berlaku
5)
Memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau mencoba barang atau jasa tertentu
serta memberi jaminan atau garansi atas barang yang dibuat maupun yang
diperdagangkan
6)
Memberi
kompensasi, ganti rugi atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang atau jasa yang diperdagangkan
7)
Memberi
kompensasi ganti rugi apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian.
III.
Asas Perlindungan Konsumen
Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai
usaha bersama berdasarkan lima asas yang relevan dalam pembangunan nasional,
yakni:
1.
Asas Manfaat
Adalah segala upaya dalam menyelenggarakan
perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan.
2.
Asas Keadilan
Adalah memberikan kesempatan kepada konsumen
dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara
adil.
3.
Asas
Keseimbangan
Adalah memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun
spiritual.
4.
Asas Keamanan
dan Keselamatan Konsumen
Adalah untuk memberikan jaminan atas keamanan
dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan
barang dan atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5.
Asas Kepastian
Hukum
Adalah pelaku maupun konsumen mentaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
negara menjamin kepastian hukum.
IV.
Tujuan
Perlindungan Konsumen
Tujuan perlindungan konsumen meliputi:
1. Meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2. Mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkan dari ekses negatif
pemakaian barang dan/ atau jasa
3. Meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen
4. Menetapkan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapat informasi
5. Menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen, sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
6. Meningkatkan
kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
V.
Perbuatan
yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Ketentuan mengenai perbuatan yang
dilarang bagi pelaku usaha diatur dalamPasal 8 – 17 UU PK.
Ketentuan-ketentuan ini kemudian dapat dibagi kedalam 3 kelompok, yakni:
1. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan produksi (Pasal 8 )
2. larangan
bagi pelaku usaha dalam kegiatan pemasaran (Pasal 9 – 16)
3. larangan
bagi pelaku usaha periklanan (Pasal 17)
Ada 10 larangan bagi pelaku usaha
sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) UU PK, yakni pelaku usaha dilarang
memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
- Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
- Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;
- Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
- Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
- Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;
- Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label.
- Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.
- Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Tiap bidang usaha diatur oleh
ketentuan tersendiri.Misalnya kegiatan usaha di bidang makanan dan minuman
tunduk pada UU No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan.Tak jarang pula, tiap daerah
memiliki pengaturan yang lebih spesifik yang diatur melalui Peraturan
Daerah.Selain tunduk pada ketentuan yang berlaku, pelaku usaha juga wajib
memiliki itikad baik dalam berusaha.Segala janji-janji yang disampaikan kepada
konsumen, baik melalui label, etiket maupun iklan harus dipenuhi.
Selain itu, ayat (2) dan (3) juga
memberikan larangan sebagai berikut:
(2)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas
barang dimaksud.
(3)
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap
dan benar.
UU
PK tidak memberikan keterangan yang jelas mengenai apa itu rusak, cacat, bekas
dan tercemar. Bila kita membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah-istilah
tersebut diartikan sebagai berikut:
- Rusak: sudah tidak sempurna (baik, utuh) lagi.
- Cacat: kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna.
- Bekas: sudah pernah dipakai.
- Tercemar: menjadi cemar (rusak, tidak baik lagi).
Ternyata
cukup sulit untuk membedakan rusak, cacat dan tercemar.Menurut saya rusak berarti
benda tersebut sudah tidak dapat digunakan lagi.Cacat berarti benda tersebut
masih dapat digunakan, namun fungsinya sudah berkurang.Sedangkan tercemar
berarti pada awalnya benda tersebut baik dan utuh.Namun ada sesuatu diluar
benda tersebut yang bersatu dengan benda itu sehingga fungsinya berkurang atau
tidak berfungsi lagi.
Ketentuan
terakhir dari pasal ini adalah:
(4)
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
VI.
TANGGUNG
JAWAB PELAKU USAHA
Setiap pelaku usaha harus
bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkan. Tanggung
jawab produk timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat
dari “ produk yang cacat “, bisa dikarenakan kekurang cermatan dalam
memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau kesalahan yang
dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan kata lain, pelaku usaha ingkar janji atau
melakukan perbuatan melawan hukum.
Di dalam undang-undang nomor 8 tahun
1999 diatur psal 19 sampai dengan pasal 28.di dalam pasal 19 mengatur tanggung
jawab kesalahan pelaku usaha terhadap produk yang dihasilkan atau
diperdagangkan dengan memberi ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran,
kerusakan, kerugian konsumen.
Sementara itu, pasal 20 dan pasal 21
mengatur beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi
jaksa untuk melakukan pembuktian, sedangkan pasal 22 menentukan bahwa
pembuktian terhadap ada tidaknya unsure kesalahan dalam kasus pidana
sebagaimana telah diatur dalam pasal 19
Di dalam pasal 27 disebut hal-hal
yang membebaskan pelaku usaha dari tanggung jawab atas kerugian yand diderita
konsumen, apabila :
- Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksud untuk diedarkan
- Cacat barang timbul pada kemudian hari.
- Cacat timul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang.
- Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen.
Lewatnya jangka waktu penuntutan 4
tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
VII. SANKSI BAGI PELAKU USAHA
Sanksi
Bagi Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
-Pengembalian uang atau
-Penggantian barang atau
-Perawatan kesehatan, dan/atau
-Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
-Pengembalian uang atau
-Penggantian barang atau
-Perawatan kesehatan, dan/atau
-Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
-Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
-Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
* Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
* Hukuman tambahan , antara lain :
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha.
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
o Pengumuman keputusan Hakim
o Pencabuttan izin usaha.
o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa.
o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa.
o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .
Contoh Kasus Perlindungan Konsumen 1
“Kasus Penarikan Produk Obat
Anti-Nyamuk HIT”
Pada hari Rabu, 7 Juni 2006, obat anti-nyamuk HIT yang
diproduksi oleh PT Megarsari Makmur dinyatakan akan ditarik dari peredaran
karena penggunaan zat aktif Propoxur dan Diklorvos yang dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan terhadap manusia, sementara yang di pabrik akan dimusnahkan.
Sebelumnya Departemen Pertanian, dalam hal ini Komisi Pestisida, telah
melakukan inspeksi mendadak di pabrik HIT dan menemukan penggunaan pestisida
yang menganggu kesehatan manusia seperti keracunan terhadap darah, gangguan syaraf,
gangguan pernapasan, gangguan terhadap sel pada tubuh, kanker hati dan kanker
lambung.
HIT yang promosinya sebagai obat anti-nyamuk ampuh dan
murah ternyata sangat berbahaya karena bukan hanya menggunakan Propoxur tetapi
juga Diklorvos (zat turunan Chlorine yang sejak puluhan tahun dilarang
penggunaannya di dunia). Obat anti-nyamuk HIT yang dinyatakan berbahaya yaitu
jenis HIT 2,1 A (jenis semprot) dan HIT 17 L (cair isi ulang). Selain itu,
Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan melaporkan PT Megarsari Makmur ke Kepolisian
Metropolitan Jakarta Raya pada tanggal 11 Juni 2006.Korbannya yaitu seorang
pembantu rumah tangga yang mengalami pusing, mual dan muntah akibat keracunan,
setelah menghirup udara yang baru saja disemprotkan obat anti-nyamuk HIT.
Masalah lain kemudian muncul. Timbul miskomunikasi
antara Departemen Pertanian (Deptan), Departemen Kesehatan (Depkes), dan BPOM
(Badan Pengawas Obat dan Makanan). Menurut UU, registrasi harus dilakukan di
Depkes karena hal tersebut menjadi kewenangan Menteri Kesehatan. Namun menurut
Keppres Pendirian BPOM, registrasi ini menjadi tanggung jawab BPOM.
Namun Kepala BPOM periode sebelumnya sempat
mengungkapkan, semua obat nyamuk harus terdaftar (teregistrasi) di Depkes dan
tidak lagi diawasi oleh BPOM.Ternyata pada kenyataanya, selama ini izin
produksi obat anti-nyamuk dikeluarkan oleh Deptan. Deptan akan memberikan izin
atas rekomendasi Komisi Pestisida. Jadi jelas terjadi tumpang tindih tugas dan
kewenangan di antara instansi-instansi tersebut.
Perbuatan
yang dilarang bagi pelaku usaha
Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu
:
1. a. Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai
dengan standar yang dipersyaratkan,
peraturan yang berlaku, ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya.
b. Tidak
sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai
barang dan/atau jasa yang menyangkut berat bersih, isi bersih dan jumlah
dalam hitungan, kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran, mutu,
tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode atau penggunaan tertentu,
janji yang diberikan.
c. Tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa/jangka waktu
penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas barang tertentu, informasi dan
petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku
d. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal
sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label
e. Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat
nama barang,
ukuran, berat/isi bersih, komposisi, tanggal pembuatan, aturan pakai, akibat sampingan, ama dan alamat pelaku usaha, keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
ukuran, berat/isi bersih, komposisi, tanggal pembuatan, aturan pakai, akibat sampingan, ama dan alamat pelaku usaha, keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat.
f. Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama
sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan
benar.
2.
Dilarang
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa.
a.
Secara tidak
benar dan/atau seolah-olah barang tersebut telah memenuhi standar
mutu tertentu, potongan harga/harga khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau
guna tertentu, dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari
daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
b. Secara tidak
benar dan seolah -olah barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan/memiliki
sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri
kerja atau aksesoris tertentu, dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor,
persetujuan/afiliasi, telah tersedia bagi konsumen, langsung/tidak langsung
merendahkan barang dan/atau jasa lain, menggunakan kata-kata berlebihan, secara
aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan
lengkap, menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti, dengan
harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud tidak
dilaksanakan, dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji, dengan menjanjikan
hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional, suplemen
makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
3. Dalam
menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang
mempromosikan,mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau
menyesatkan mengenai :
a.
Harga/tarifdan
potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
b.
Kondisi,
tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.
c.
Kegunaan dan
bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.
4. Dalam
menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah
dengan cara undian dilarang
a.
Tidak
melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
b.
Mengumumkan
hasilnya tidak melalui media massa.
c.
Memberikan
hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak
setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
5. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa,
dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan
gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.
6. Dalam hal penjualan melalui obral atau
lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui konsumen dengan
a.
Menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu
dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
b.
Tidak
berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.
c.
Tidak
menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan maksud
menjual barang lain.
Analisis
Agar tidak terjadi lagi
kejadian-kejadian yang merugikan bagi konsumen, maka kita sebagai konsumen
harus lebih teliti lagi dalam memilah milih barang/jasa yang ditawarkan dan
adapun pasal-pasal bagi konsumen, seperti:
- Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk;
- Teliti sebelum membeli;
- Biasakan belanja sesuai rencana;
- Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan, keselamatan,kenyamanan dan kesehatan;
- Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan;
- Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa;
Pasal 4, hak konsumen adalah
:
a.
Ayat 1 :
“hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa”.
b. Disini
pelaku usaha bidang pangan melanggar hak konsumen tersebut. Ini terbukti
Berdasarkan penyebab terjadi KLB (per-23 Agustus 2006) 37 kasus tidak jelas
asalnya, 1 kasus disebabkan mikroba dan 8 kasus tidak ada sample.Pada tahun
2005 KLB yang tidak jelas asalnya (berasal dari umum) sebanyak 95 kasus, tidak
ada sample 45 kasus dan akibat mikroba 30 kasus.Hasil kajian dan analisa BPKN
juga masih menemukan adanya penggunaan bahan terlarang dalam produk makanan
Ditemukan penggunaan bahan-bahan terlarang seperti bahan pengawet, pewarna,
pemanis dan lainnya yang bukan untuk pangan (seperti rhodamin B dan methanil
yellow).
c.
Ayat 3 :
“hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa”.
d. Para pelaku
usaha bidang pangan terutama pada makanan cepat saji seperti bakso, mie ayam
dan lainnya para pelaku usaha tidak jarang mencantumkan komposisi makanannya
bahkan mencampur adukan boraks pada sajiannya, hal ini mempersulit konsumen
dalam mengetahui informasi komposisi bahan makanannya.
Contoh Kasus Perlindungan Konsumen 2
“Bedah Kasus
Konsumen Fidusia”
Pengaduan konsumen tentang pembayaran angsuran motor melalui
jaminan fidusia masih marak terjadi hingga kini. Adanya kebutuhan konsumen dan
stimulus kemudahan dari sales perusahaan penjual motor menjadikan proses
jual-beli lebih mudah, bahkan bagi seorang tukang becak sekalipun yang
pendapatan hariannya relatif rendah. Permasalahan mulai timbul ketikakonsumen
tidak mampu membayar kredit motor, yang membuat erusahaan mencabut hak
penguasaan kendaraan secara langsung.
Pada umumnya
praktek penjualan motor dilakukan sales dengan iming-iming
kemudahan memperoleh dana untuk pembayaran dengan jaminan fidusia,
dimana persyaratannya sederhana, cepat, dan mudah sehingga konsumen kadang
tidak pemperhitungkan kekuatan finansialnya. Sementara klausula baku yang telah
ditetapkan pelaku usaha diduga terdapat informasi terselubung yang dapat
merugikan konsumen. Untuk itu, mari kita cermati bedah kasus fidusia di bawah
ini:
Kasus Posisi
LAS yang berprofesi
sebagai tukang becak, membeli kendaraan sepeda motor Kawasaki hitam,
selanjutnya NO meminjamkan identitasnya untuk kepentingan LAS dalam mengajukan
pinjaman pembayaran motor tersebut dengan jaminan fidusia kepada PT. AF. Hal
ini bisa terjadi karena fasilitasi yang diberikan oleh NA, sales perusahaan
motor tersebut. Kemudian konsumen telah membayar uang muka sebesar Rp.
2.000.000,- kepada PT. AF dan telah mengangsur sebanyak 6 kali (per angsuran
sebesar Rp. 408.000,-). Namun ternyata pada cicilan ke tujuh, konsumen
terlambat melakukan angsuran, akibatnya terjadi upaya penarikan sepeda motor
dari PT. AF.
Merasa dirugikan,
konsumen mengadukan masalahnya ke Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya
Masyarakat (LPKSM)Bojonegoro. Kemudian karena tidak
mampu melakukan Pembayaran, maka LAS menitipkan obyek sengketa kepada LPKSM
disertai berita acara penyerahan.Akibatnya LAS/NO dilaporkan oleh PT. AF dengan
dakwaan melakukan penggelapan dan Ketua LPKSM didakwa telah melakukan
penadahan.
Penanganan Kasus
Menyikapi kasus
fidusia tersebut, BPKN bersama dengan Direktorat Perlindungan Konsumen
Departemen Perdagangan menurunkan Tim Kecil ke Bojonegoro, untuk meneliti dan
menggali 2 informasi kepada para pihak terkait. Hasilnya dijadikan sebagai
bahan kajian dan telaahan hukum pada Workshop Bedah Kasus Pengaduan Konsumen
melalui Lembaga Fidusia, sebagai berikut:
1. Ketentuan dalam
klausula baku
Pada umumnya jual
beli sepeda motor diikuti dengan perjanjian pokok yang merupakan klausula baku.
Saat konsumen
mencermatinya,
terdapat beberapa ketentuan yang seringkali muncul, namun tidak memenuhi
ketentuan Ps. 18 UU No. 8
Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) diantaranya sebagai berikut:
a.
menyatakan
pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun
tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan
dengan kendaraan bermotor yang dibeli konsumen;
b.
menyatakan bahwa
konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak
gadai, atau hak jaminan fidusia terhadap barang yang dibeli konsumen
secara angsuran.
c.
Mencantumkan
klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat
dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Klausula baku
tersebut sifatnya batal demi hukum dan pelaku usaha wajib menyesuaikannya
dengan ketentuan UUPK.
2. Pendaftaran
Jaminan Fidusia
PT. AF ternyata
tidak mendaftarkan jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia, sebagaimana
diamanatkan dalam UU No. 42 Tahun 1999.Akibatnya perjanjian jaminan fidusia
menjadi gugur dan kembali ke perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang piutang
biasa (akta dibawah tangan). Bila jaminan fidusia terdaftar, PT. AF memiliki
hak eksekusi langsung (parate eksekusi) untuk menarik kembali motor yang berada
dalam penguasaan konsumen. Namun bila tidak terdaftar, berarti PT. AF tidak
memiliki hak eksekusi langsung terhadap objek sengketa karena kedudukannya
sebagai kreditor konkuren, yang harus menunggu penyelesaian utang bersama
kreditor yang lain.
3. Hak Konsumen
atas Obyek Sengketa
Konsumen telah
membayar 6 kali angsuran, namun terjadi kemacetan pada angsuran ketujuh.Ini
berarti konsumen telah menunaikan sebagian kewajibannya sehingga dapat
dikatakan bahwa di atas objek sengketa tersebut telah ada sebagian hak milik
debitor (konsumen) dan sebagian hak milik kreditor.
Tips bagi Konsumen
Rendahnya daya
tawar dan pengetahuan hukum konsumen seringkali dimanfaatkan oleh lembaga
pembiayaan yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah
tangan.
Untuk itu,
perhatikanlah tips bagi konsumen sebagai berikut:
1. Konsumen
dihimbau beritikad baik untuk selalu membayar angsuran secara tepat waktu.
2. konsumen
dihimbau untuk lebih kritis dan teliti dalam membaca klausula baku, terutama
mengenai:
a.
hak-hak dan kewajiban para pihak
b.
kapan perjanjian itu jatuh tempo;
c.
akibat hukum bila konsumen tidak dapat memenuhi kewajibannya (wanprestasi)
3. Bila ketentuan
klausula baku ternyata tidak sesuai dengan ketentuan UUPK dan UUF, serta
merugikan konsumen, maka pelaku usaha harus diminta untuk menyesuaikannya
dengan ketentuan tersebut.
4. Bila terjadi
sengketa, konsumen dapat memperjuangkan hak-haknya dengan meminta pertimbangan
dan penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Contoh Kasus Pelindungan Konsumen 3
“Kasus
Keterlambatan Maskapai Penerbangan Wings Air”
KASUS
Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku
pemilik Maskapai Penerbangan Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam.
Maskapai tersebut digugat oleh seorang advokat bernama DAVID ML Tobing. DAVID,
lawyer yang tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk
melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia
tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.
Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli.Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara. Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
ANALISA KASUS
Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi maka harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam arti Luas.
Bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan oleh Prof. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi.Hukum tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yang menghambat perekonomian dan kemakmuran rakyat.
Dalam Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit adalah tindak pidana ekonomi yang secara tegas melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955.Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain yang mengatur tentang tindak pidana ekonomi.
Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti luas.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UU.RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK).UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.
Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif dapat dilindungi.
Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali atau reseller consumer.
Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5 asas utama yakni : Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual, Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan; Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Sedangkan ketentuan mengenai sangsi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara Ultimuum Remedium mengingat penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan Hukum Perdata.
Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan yang dijualnya, dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak RP. 2.000.000.000,- ,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium.
Yang dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan berisi tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain. Sebagaimana ditentukan berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa tujuan dari pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan Konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Selain itu khusus mengenai penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa ditentukan perusahaan penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya.
Dalam kasus disebutkan bahwa, pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan memuat klausul “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”. Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut jelas merupakan suatu bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat dalam tiket tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak Manajemen Wings Air yang berisikan pengalihan tanggungjawab dalam hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada penumpang. Atas dimuatnya klausula tersebut jelas dapat merugikan kepentingan konsumen.Penyedia jasa dapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian yang timbul baik yang ditimbulkan oleh penyedia jasa sendiri maupun konsumen.Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik Lion Air bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa tentang penerbangan.
Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli.Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara. Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
ANALISA KASUS
Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi maka harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam arti Luas.
Bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan oleh Prof. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi.Hukum tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yang menghambat perekonomian dan kemakmuran rakyat.
Dalam Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit adalah tindak pidana ekonomi yang secara tegas melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955.Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain yang mengatur tentang tindak pidana ekonomi.
Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti luas.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UU.RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK).UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.
Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen.Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif dapat dilindungi.
Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali atau reseller consumer.
Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5 asas utama yakni : Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual, Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan; Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Sedangkan ketentuan mengenai sangsi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara Ultimuum Remedium mengingat penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan Hukum Perdata.
Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan yang dijualnya, dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak RP. 2.000.000.000,- ,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium.
Yang dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan berisi tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain. Sebagaimana ditentukan berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa tujuan dari pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan Konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Selain itu khusus mengenai penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa ditentukan perusahaan penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya.
Dalam kasus disebutkan bahwa, pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan memuat klausul “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”. Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut jelas merupakan suatu bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat dalam tiket tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak Manajemen Wings Air yang berisikan pengalihan tanggungjawab dalam hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada penumpang. Atas dimuatnya klausula tersebut jelas dapat merugikan kepentingan konsumen.Penyedia jasa dapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian yang timbul baik yang ditimbulkan oleh penyedia jasa sendiri maupun konsumen.Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik Lion Air bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa tentang penerbangan.
Terkait dengan penegakan hukum perlindungan konsumen, khususnya mengenai pelarangan pemasukan Klausula Baku dalam setiap aktivitas perdagangan, menurut pendapat saya belum berjalan dengan efektif dan sesuai harapan.Disana-sini penggunaan klausula tersebut masih marak dan cukup akrab dalam setiap aktivitas perekonomian. Selain itu, sampai sejauh ini pun penggunaan sangsi pidana belum pernah diterapkan dalam setiap tindakan pencantuman klausula baku. Hal tersebut menurut pendapat saya merupakan indikator bahwa Undang-Undang No.8 Tahun 1999 belum ditaati dan diterapkan dengan baik melainkan sejauh ini baru samapi pada tahap pemahaman dan sosialisasi.
Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum yang memuat ketentuan tentang pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen menunjukan bahwa kegiatan atau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah berkembang sedemikian rupa dan kompleks sehingga kehadiran Undang-Undang No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dirasa tidak lagi mumpuni dalam meminimalisir itikad jahat pelaku ekonomi terhadap konsumen.
Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia dan membuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangan social yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh rakyat sebagaimana disebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo.
DAFTAR PUSTAKA